Hilangnya budaya tegur sapa
Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga
disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan
serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Sosialisasi dan komunikasi
tersebut tentunya diawali dengan tegur sapa (move) atau sekedar senyum simpul
yang manis, yang benar-benar menggambarkan ketimuran bangsa Indonesia. Sejarah
juga telah membuktikan bahwa masyarakat Indonesia di mata dunia adalah
masyarakat yang ramah-tamah, mudah bergaul serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kesopanan.
Tegur sapa (move) pada intinya adalah suatu pernyataan
awal seseorang untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain. Tujuan dari
tegur sapa tersebut tidak lain adalah agar seseorang lawan bicara yang akan
kita ajak berkomunikasi tersebut dapat merespon apa yang kita sampaikan. Namun kenyataannya
bertegur sapa tersebut sangant sulit dilakukan oleh remaja atau pelajar zaman
sekarang, umumnya mereka bertegur sapa hanya pada orang yang mereka kenal atau hanya
pada guru yang pernah dan sedang mengajarnya saja. Di luar daripada itu, para
remaja dan pelajar kita terkesan cuek dan merasa tidak mau tahu dengan
keberadaan orang baru yang ada di lingkungan sekitar nya. Padahal, baik di
sekolah ataupun di rumah pengajaran dan pembelajaran tentang hal tersebut sudah
diajarkan sejak kecil.
Saat ini, kegiatan tegur sapa yang digandrungi
oleh para remaja kita adalah melalui dunia maya di berbagai Sosial media
seperti Facebook, Twitter dan lain sebagainya. Meskipun layanan yang ada pada
internet tersebut disediakan untuk semua orang dalam berinteraksi atau
bersosial dengan sesama, namun pada dasarnya kegiatan tersebut dilakukan tanpa
bertatap muka dan saling sapa secara nyata. Namun didalam kemudahan bersosial
dan ‘berselancar’ di internet ternyata selain telah memanjakan masyarakat dalam
komunikasi, tetapi juga menjadikan kita masyarakat yang antisocial didalam
dunia nyata.
Kenapa dengan sosial media kita menjadi masyarakat
yang antisosial? Jawabannya sangat simple, secara tidak langsung kita telah
mengikis dan menghilangkan budaya tegur sapa dan tatap muka di dunia nyata.
Pasal nya, dengan berhubungan di sosial media dan chatting melalui jejaring sosial kita sudah
merasa lebih dari cukup untuk bersosial. Akan tetapi, coba kita ingat dan
renungkan bahwa dalam sehari sudah berapa kali kita dapat bertegur sapa serta
bertatap muka dengan keluarga dan kerabat kita secara langsung?
Kebiasaan yang lumrah dilakukan masyarakat kita
dalam bertegur sapa atau bertatap muka adalah dengan mengucapkan kata pembuka
seperti; salam, hai, apa kabar, Pak, Buk, Om, tante, dan bentuk sapaan lainnya.
Kendatipun kata-kata pembuka dan sapaan di atas tidak akan terucapkan atau
terlontarkan, maka alangkah baiknya kita keluarkan sebuah senyuman manis yang
dapat mewakili terjadinya tegur sapa dan tatap muka tadi. Bukankah sebuah
senyuman itu bernilai ibadah di mata Allah SWT. Lalu, kenapa sebuah tegur sapa
itu begitu mahalnya bagi masyarakat kita untuk diucapkan?
Lunturnya semangat nasionalisme pemuda Indonesia
Seiring berkembangnya
zaman, rasa nasionalisme kian memudar. Rasa nasionalisme bangsa pada saat ini
hanya muncul bila ada suatu faktor pendorong, seperti kasus pengklaiman
beberapa kebudayan dan pulau-pulau kecil Indonesiaseperti Sipadan, Ligitan ,
serta Ambalat oleh Malaysia beberapa waktu yang lalu. Namun rasa nasionalisme
pun kembali berkurang seiring dengan meredanya konflik tersebut. Hal ini
dibuktikan dari berbagai sikap dalam memaknai berbagai hal penting bagi Negara
Indonesia. Contoh sederhana yang menggambarkan betapa kecilnya rasa
nasionalisme, diantaranya :
- Pada saat upacara bendera, masih banyak rakyat yang tidak memaknai arti dari upacara tersebut. Upacara merupakan wadah untuk menghormati dan menghargai para pahlawan yang telah berjuang keras untuk mengambil kemerdekaan dari tangan para penjajah. Para pemuda seakan sibuk dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti upacara dengan khidmad.
- Pada peringatan hari-hari besar nasional, seperti Sumpah Pemuda, hannya dimaknai sebagai serermonial dan hiburan saja tanpa menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme dalam benak mereka.
- Lebih tertariknya masyarakat terhadap produk impor dibandingkan dengan produk buatan dalam negeri, serta lebih banyak mencampurkan bahasa asing dengan bahasa Indonesia untuk meningkatkan gengsi, dan lain-lain.
- Kurangnya kesadaran masyarakat “hanya” untuk memasang bendera di depan rumah, kantor atau pertokoan. Dan bagi yang tidak mengibarkannya mereka punya berbagai macam alas an entah benderanya sudah sobek atau tidak punya tiang bendera, malas , cuaca buruk, dan lain-lain. Mereka mampu membeli sepeda motor baru, baju baru tiap tahun yang harganya ratusan bahkan jutaan tapi mengapa untuk bendera merah putih yang harganya tidak sampai ratusan saja mereka tidak sanggup?
Pada masa sekarang ini
sudah sulit ditemukan perlombaan-perlombaan 17-an. Padahal pada masa orde baru,
suasana 17-an telah dirasakan sejak awal Agustus. Perlombaan 17-an merupakan
kegiatan rutin setiap tahunnya dan sudah menjadi budaya baru di negara ini.
Melalui kegiatan ini dapat ditanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri
generasi muda yang nantinya menjadi penerus bangsa. Contoh, dalam permainan
panjat pinang yang paling sulit diraih adalah bendera dan harus melalui usaha
keras untuk mendapatkannya. Dari hal kecil tersebut terkandung nilai
pembelajaran yang sangat tinggi yaitu untuk merebut kemerdekaan, para pahlawan
berjuang mati-matian tanpa mengenal lelah dan tentunya disertai dengan rasa
keikhlasan hati. Terakhir, hal yang paling ironis adalah bangsa ini pada
kenyataannya kurang menghargai jasa-jasa para pahlawan yang masih hidup hingga
sekarang. Mereka yang dahulu telah mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan
Indonesia justru mendapatkan imbalan berupa kehidupan yang tidak layak disisa
umur mereka. Padahal dapat dibayangkan apabila dahulu para pahlawan tidak mau
berjuang, pastinya Indonesia masih dalam penjajahan bangsa asing.
Sebenarnya nasib kita
masih lebih baik dan beruntung daripada para pejuang dulu, kita hanya
meneruskan perjuangan mereka tanpa harus mengorbankan nyawa dan
harta.Nasionalisme kita semakin luntur dan akankah punah tergilas modernisasi
dan individualis. Masih banyak bentuk nasionalisme lain yang kita rasakan
semakin memudar. Kurangnya kecintaan kita terhadap produk dalam negeri dan
merasa bangga kalau bisa memakai produk dalam negeri. Kegilaan kita tripping
keluar negeri padahal negeri sendiri belum tentu dijelajahi. Kita belum
tersadar betul bahwa lambat laun sikap-sikap seperti itu akan semakin
menjauhkan kecintaan kita kepada negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar